Oleh:
Bisri Effendy
Kami tidak berjuang untuk merebut kekuasaan,
kami berjuang untuk demokrasi, kebebasan, dan keadilan. Dasar politik kami
adalah yang paling radikal di Meksiko, begitu radikal sehingga semua spektrum
politik tradisional mencela kami dan menyingkir begitu saja dari igauan
kami.Bukan persenjataan yang membuat kami radikal, melainkan praktik politik
baru yang kami ajukan dan benamkan dalam diri ribuan laki-laki dan perempuan di
Meksiko dan seluruh dunia; konstruksi sebuah praktik politik yang tidak
bertujuan merebut kekuasaan namun untuk mengorganisir masyarakat.
(Subcomandance Marcos: 2005; 291)
Penegasan
para pemimpin gerakan Zapatista tersebut penting saya kutip mengawali pengantar
diskusi ini terutama untuk menyemangati kita bahwa gerakan sosial berbasis
massa rakyat melawan neoliberalisme (neokolonialisme) tetap penting dan harus
selalu direvitalisasi di setiap zaman. Gerakan Zapatista (lebih dikenal:
komunike-komunike Zapatista) adalah sebuah gerakan sosial politik yang radikal
(angkat senjata) di Meksiko menghadapi merajalelanya
neoliberalisme/neokolonialisme dibawah “payung” negara yang melahirkan
diskriminasi, ketidak-adilan, dehumanisasi, dan kemiskinan kronis di negeri
itu; neoliberalisme sendiri di Meksiko telah lama mewujudkan diri dalam bentuk
monopoli sumber-sumber ekonomi hingga yang terkecil, korupsi para elite politik
dan birokrasi, dan pemasungan hak-hak warga kebanyakan di ranah politik,
ekonomi, dan kebudayaan. Pada saat yang sama, Presiden Meksiko saat itu, Carlos
Salinas de Gortari, dengan sengaja mengamandemen salah satu pasal UUDnya untuk
menutup rapat-rapat kemungkinan reforma agraria dan membuka kran pasar bebas
dengan langkah liberalisasi dan privatisasi; NAFTA dihadirkan, BUMN
diswastanisasi, dan agribisnis-agribisnis raksasa bertengger kokoh di seluruh
Meksiko.
Gerakan
Zapatista meledak pada 1 Januari 1994 yang diawali oleh massa petani adat di
Chiapas, sebuah negara bagian yang memiliki kekayaan alam sangat besar (gas
alam dan perkebunan kopi) dan mensuplai 20 % tenaga listrik di Meksiko, tetapi
penduduknya paling miskin dan paling menderita (jalan tidak beraspal, 75 % anak
putus sekolah di tingkat SD, 2 klinik kecil untuk 1.000 warga, 60-70 % warga
kurang gizi, serta wabah malnutrisi, kolera, TBC, dan disentri menewaskan
sekitar 15.000 warga setiap tahun). Langkah liberalisasi dan seluruh kebijakan
Salinas tersebut lebih merupakan hukuman mati bagi Chiapas. Tidak ada jalan
lain bagi petani adat Chiapas kecuali menggeliat dan melancarkan gerakan
bersama demi berlangsungnya revolusi. “Mati kelaparan atau berperang”, hanya
itulah pilihan petani adat Chiapas, dan ternyata peranglah yang mereka pilih,
karena hanya itulah paling terhormat, di
samping masih menyisakan kemungkinan “menang” dan perubahan nasib di kemudian
hari. Zapatista akhirnya menorehkan sejarah Meksiko “habis gelap, terbitlah
terang”.
Zapatista
bukan hanya ilham penting bagi kita sekarang dan disini, tetapi juga sekaligus
merupakan bukti kebalikan dari spekulasi Francis Fukuyama bahwa dengan robohnya
tembok Berlin 9 November 1989, sejarah telah berakhir dengan kemenangan telak
kapitalisme sebagai satu-satunya anutan dunia. Sepanjang rentang waktu
1989-1993, orang hampir percaya bahwa “akhir sejarah” nya Fukuyama itu memang
benar dan terbukti, tetapi ketika Zapatista menyeruak ke permukaan, maka kita
pun lalu tersadarkan bahwa igauan intelektual Fukuyama itu palsu dan tak
terbukti.
Indonesia
memang bukan Meksiko, tetapi kedua negeri jajahan itu mempunyai pengalaman
sejarah yang mirip dan nyaris tak berbeda. Jika Meksiko yang dihuni para Indian
Maya dijajah Spanyol sejak awal abad ke-16 dan baru merdeka pada 1917,
Indonesia pun telah mengalami penjajahan oleh Belanda sekitar 350 tahun. Jika
pasca kemerdekaan Meksiko dikuasai oleh “raja-raja” kecil, para keturunan
Spanyol yang kemudian menjadi warga negara dan menguasai perkebunan-perkebunan
di Meksiko, Indonesia juga dikuasai oleh para tuan tanah keturunan Belanda,
Cina, dan sebagian warga pribumi yang telah lama berpeluk-mesra dengan
penjajah. Jika di Meksiko terkenal kegagalan sebuah kebijakan Elias Calles
untuk menggantikan hubungan kekuasaan feodal dan personal di tingkat lokal, dan
gagalnya Partai Revolusioner Institusional (PRI) yang sengaja dimaksudkan untuk
menjinakkan “raja-raja” kecil tersebut dengan mengintegrasikan ke dalam
institusi resmi partai politik, maka di Indonesia pun kita menyaksikan kegagalan
kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan (termasuk perkebunan) asing di
awal tahun 50-an demi kesejahteraan pribumi dan kandasnya landreform untuk menyeimbangkan penguasaan tanah. Bedanya, jika di
Meksiko telah terjadi gerakan Zapatista, di Indonesia kita baru menyaksikan
“letupan-letupan “ kecil yang dengan mudah ditiup angin.
Kolonisasi Pedesaan dan Diferensiasi
Sosial
Tidaklah
mudah membuat deskripsi yang lengkap tentang kolonisasi pedesaan di negeri ini
berikut dampaknya pada wajah (ekologi) desa dan masyarakat (demografi) nya,
karena hal itu telah berlangsung melewati kurun waktu berabad dan menunjukkan
ketidak-samaan antara di suatu tempat ke tempat lainnya. Kolonisasi pedesaan
berbasis perkebunan dan atau pabrik gula akan berbeda intensitas dan dampaknya
terhadap masyarakat dengan kolonisasi pedesaan yang murni persawahan. Oleh
sebab itu, apa yang hendak saya sajikan di pengantar ini hanyalah tengokan
selintas dan hanya mengenai hal-hal yang saya anggap penting untuk forum
diskusi ini.
Sebagai
penggagas kolonisasi pedesaan Jawa pasca cultuurstelsel
(orang Belanda lebih suka menyebut sebagai kebijakan untuk masa depan Hindia
Belanda), Du Bus de Gisignies dan Van den Bosch memang berbeda pandangan. Du
Bus berkesimpulan bahwa pertanian penduduk pribumi di Jawa khususnya dan di
seluruh Hindia Belanda pada umumnya merupakan pertanian yang mandek dan tidak
bisa diharapkan berkembang menjadi pertanian yang mandiri, karena tatanan
sosial masyarakat pedesaan di daerah itu (yang tidak terdifernsiasi) dan kebersamaan
sosial ekonomi yang berlaku di sana. Oleh sebab itu, kebijakan yang harus
ditempuh pemerintah Belanda, menurut Bus, adalah perombakan politik ekonomi
liberal yang bisa merangsang modal luar negeri. Kebijakan itu harus diwujudkan
dalam tiga hal: perombakan kepemilikan tanah komunal menjadi milik perorangan,
mengundang modal asing, dan menyediakan tanah untuk dieksploitasi orang-orang
Eropa dengan mendirikan perkebunan besar dan memanfaatkan tenaga kerja pribumi.
Akan tetapi Van den Bosch melihat bahwa kolonisasi Hindia Belanda berdasarkan
sistem kebebasan membangun perkebunan besar yang dikelola oleh modal Eropa
tidaklah ada manfaatnya. Sebaliknya ia mengusulkan agar kebijakan kolonisasi
dilaksanakan dengan mengembalikan tanam paksa dari zaman VOC dalam versi baru.
Paksaan terhadap penduduk pribumi untuk melakukan sesuatu yang sesuai kebutuhan
industri dan pasar dunia adalah keharusan agar Hindia Belanda menyonsong
kemajuan berarti. Bosch menyatakan: tanpa kebijakan semacam itu, tidak mungkin
dapat diciptakan industri dan peradaban.
Kedua
penggagas kolonisasi yang juga penguasa di negeri jajahan itu memang berbeda
pendapat tentang eksploitasi yang harus dilakukan. Jika Bus lebih menyerahkan
eksploitasi pada kekuatan modal asing yang didatangkan dari Eropa, maka Bosch
lebih percaya menyerahkan eksploitasi itu pada pemerintah kolonial sendiri.
Bagi Bosh bukan modal swasta Eropa yang menjadi dasar eksploitasi tanah koloni,
tetapi tenaga buruh pribumi yang murah, bukan pengusaha besar perkebunan yang menjadi
pengelola pelaksanaan kebijakan itu, tetapi para pejabat Belanda yang
bekerjasama dengan para bupati dan kepala desa. Namun demikian, keduanya
sependapat dalam satu hal, yakni mengenai tatanan kehidupan masyarakat pedesaan
di Hindia Belanda. Mereka berkesimpulan bahwa masyarakat desa adalah para
petani kecil yang tidak mengandung diferensiasi, menutup diri dalam keadaan
“serba cukup”, dan tidak melakukan produksi untuk kebutuhan pasar ekspor yang
semua itu dilihat mereka sebagai penghambat paling mendasar perkembangan
masyarakat pedesaan. Mereka juga sepakat bahwa seluruh kebijakan eksploitasi
Hindia Belanda (ekspansi kolonial dengan penetrasi ekonomi berdasarkan
kapitalisme dan eksploitasi penduduk pedesaan) itu haruslah untuk memenuhi
kepentingan Belanda yang saat itu sedang menghadapi problem ekonomi yang cukup
serius.
Kedua
pandangan tentang kolonisasi itu, untuk sementara waktu, menjadi perdebatan
serius di Belanda dan menarik perhatian sejumlah pendukung politik etis seperti
Dirk van Hogendorp, Raffles, dan Boeke, sebelum kemudian gagasan Van den Bosch
dipilih untuk diwujudkan dalam kebijakan resmi pemerintah Belanda. Kolonisasi
Pedesaan Hindia Belanda, dengan demikian, merupakan kelahiran kembali tanam
paksa dengan penyesuaian-penyesuaian di sana-sini tanpa mengubah paradigmanya
sebagai ekspansi kolonial berbasis kapitalisme, sebuah model kolonisasi yang
dikritik banyak pihak karena telah terbukti menimbulkan banyak korban di pihak
pribumi. Politik etis sesudah tanam paksa memang terbukti tidak berdaya karena
dikhawatirkan tidak menguntungkan bagi pemerintah Belanda, dan sebaliknya
justru akan menguntungkan pribumi, meski sejumlah pendukungnya tetap bertahan
membelanya di tengah peleksanaan kolonisasi model Bosch ini.
Beberapa
langkah yang ditempuh mewujudkan kolonisasi Bosch ini adalah, pertama,
perombakan pemilikan tanah komunal menjadi milik pribadi dan perseorangan.
Kedua, penciptaan diferensiasi sosial di tengah-tengah masyarakat terutama
untuk mendorong terjadinya kompetisi ekonomi yang diduga akan menumbuhkan kerja
keras. Ketiga, membuka perkebunan-perkebunan baru dan mendirikan pabrik-pabrik
gula di banyak tempat yang semuanya dibawah naungan pemerintah kolonial;
perkebunan-perkebunan kecil juga dibuka oleh pemodal swasta Eropa yang tetap dikontrol
negara. Keempat, pemaksaan penanaman produk untuk memenuhi kebutuhan ekspor
seperti tembakau di area persawahan yang sebelumnya hanya ditanami padi.
Kelima, pengerahan (penggiringan) para petani kecil untuk (wajib) menjadi
pekerja (buruh) dengan imbalan yang sangat rendah.
Tak
lama setelah kebijakan itu direalisasi, muncul kritik keras dari banyak pihak
baik di Belanda sendiri maupun di Hindia Belanda. Di samping para pendukung
politik etis tetap melancarkan kritik, sejumlah pengkritik mengajukan penilaian
kritisnya. Dari kalangan pendukung politik etis, Boeke yang terkenal dengan
dualisme ekonominya mengajukan kritik bahwa kolonisasi yang dijalankan
pemerintah Belanda saat itu tidak membuahkan hasil dan justru menimbulkan
kemacetan-kemacetan. Para penduduk pedesaan itu teromabng-ambing dalam dualisme
ekonomi yang tidak mudah terselesaikan. Boeke mengatakan bahwa mau-tak mau ciri
yang statis dari masyarakat pedesaan dari zaman prakapitalisme itu haruslah
diterima, meski berlawanan dengan perkembangan bebas dan dinamis dalam zaman
kapitalisme.
Van
der Kolff mengajukan kritik yang lebih keras bahwa persaingan yang tidak
seimbang antara petani pribumi dan tuan besar perkebunan Eropa yang dilindungi
pemerintah kolonial telah menghambat
pertubuhan petani pribumi yang kuat dan bisa menjadi motor perkembangan ekonomi
mandiri. Bahkan, menurut Kolff, pertanian di Jawa yang telah ditundukkan untuk
kepentingan dan eksploitasi perusahaan-perusahaan gula Eropa telah membawa
kemunduran yang luar biasa bagi penduduk tani, mengakibatkan terjadinya
kemacetan dalam ekonomi, dan menimbulkan sikap apatis sehingga yang tercipta
bukannya petani yang ulet dan penuh gairah kerja, melainkan kuli yang hanya
bersikap tunduk dan pasrah.
Senada
dengan kedua pengkritik itu, antropolog terkenal yang melakukan penelitian di
Pare, Kediri tahun 50-an, Clifford Geertz berkesimpulan sama bahwa seluruh
proses kolonisasi pedesaan tersebut telah mengakibatkan involusi (kemacetan)
pertanian. Geertz menyatakan bahwa sistem ekologi persawahan yang mampu
menampung pemusatan penduduk yang semakin bertambah itu menjadi bercana ketika
sejak awal abad ke-19 dilaksanakan penanaman tebu sebagai bagian dari tanam
paksa dan kebijakan kolonisasi yang diterapkan di masa berikutnya. Geertz
mengajukan kemungkinan pemecahan soal itu dengan menciptakan apa yang ia sebut
sebagai “ketergantungan timbal-balik” atau “hubungan yang saling menuntungkan”
antara perusahan perkebunan dengan ekonomi petani yang subsisten. Ia berasumsi
bahwa jika tanah pertanian penduduk tetap bisa menghasilkan beras secukup
kebutuhan mereka dan jika struktur desa yang berlaku tetap mantap berjalan,
maka buruh tani akan tetap tersedia untuk melakukan kerja musiman di
ladang-ladang tebut dan pabrik gula. Sebaliknya, jika tercipta kaum proletariat
desa yang sama sekali tidak memiliki tanah tetapi hidupnya tergantung
sepenuhnya pada pekerjaan di perkebunan, maka salah satu tiang eksploitasi
kolonial pada waktunya akan runtuh. Dalam hal yang terakhir ini, juga akan
terjadi: apabila petani itu sendiri memdapatkan kemungkinan menanam jenis-jenis
yang diperdagangkan; apabila tuan-tuan pabrik gula terlibat dalam persaingan
berat dengan petani yang menghadapkan tuan-tuan itu pada kesulitan mendapatkan
tanah murah. Saran Geertz itu sudah pasti sangat terlambat, di samping belum
teruji dalam praktiknya di lapangan.
Yang
lebih pasti bahwa tindakan khas kolonial dalam pelaksanaan penanaman tebu untuk
produksi gula dalam sistem ekologi persawahan itu, menurut Geertz, telah
menjerumuskan ekonomi pedesaan ke jurang kebekuan, yang akibat-akibatnya terus
berlanjut tidak hanya sampai dekade dimana pabrik-pabrik gula ambruk tahun
1930-an, bahkan sampai Indonesia menjadi negara merdeka. Bukan hanya itu,
Geertz juga menyebut bahwa involusi pertanian tersebut juga meluas pada bidang
sosial budaya, hidup kekeluargaan pedesaan, pelapisan sosial, tata politik,
praktik keagamaan, dan sistem nilai kebudayaan rakyat.
Indonesia
memang telah merdeka, dan Presiden pertama, Soekarno telah menelorkan kebijakan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing sambil mendengungkan pentingnya
“Marheinisme” sebagai variasi populisme yang memperjuangkan pemerataan sosial
bagi rakyat Indonesia. Tetapi, orde Soekarno harus jatuh ke tangan orde baru
yang mencetuskan dan meperjuangkan ideologi pembangunan dimana sentralisasi dan
otoriterisme menjadi ciri khas yang disandangnya. Persis seperti konsep
kolonisasi, pembangunan telah memberi kelonggaran yang luar biasa bagi
berkeliarannya kekuatan asing dan semakin kokohnya elite politik yang berlindung
di ketiak negara. Dalam hal pertanian, orde politik itu memang telah melahirkan
revolusi hijau dengan pendekatan khasnya dalam bentuk proyek Bimas dan Inmas
yang menarik perhatian dan bantuan internasional sangat besar. Tetapi proyek
yang berupa perombakan bibit unggul, penyediaan saprodin kimia, dan pemberian
kredit petani itu ternyata hanya mengakibatkan kesenjangan semakin menganga,
karena hampir semua modernisasi pertanian itu hanya diakses oleh para petani
kaya yang jumlahnya sangat sedikit; yang diuntungkan dari proyek itu hanyalah
petani pemilik yang mempunyai kemungkinan lebih jauh mengakses proyek. Maka,
corak dan watak kapitalistik pun tak dapat dihindari dari proyek itu.
Stoler
(2005) menegaskan bahwa kapitalisme di Jawa paling nampak dalam proyek
pembangunan desa dengan mengambil wujud varietas unggul yang dihasilkan dari revolusi hijau
yang menyebabkan banyak kemiskinan ketimbang kemakmuran. Sementara kapitalisme
di Sumatera yang merasuk di wilayah perkebunan memerlihatkan wajah yang lebih
mencolok: gemerlap modal multinasional berdampingan dengan gubuk-gubuk reyot
milik para buruh, sebagian lanjut usia, yang bersebaran di perkebunan milik
swasta.
Politik Marjinalitas: Membangun Siasat
di Tengah Kelumpuhan
Kolonisasi
pedesaan telah terjadi dan dampaknya pun dengan jelas dapat kita saksikan
hingga sekarang. Diferensiasi sosial yang oleh para pendukung kapitalisme
dilihat sebagai peretas kebersamaan komunal sebagai penyebab utama kemacetan
ekonomi kapitalistik justru menjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat
pedesaan. Dengan diferensiasi sosial, kebersamaan komunal (kohesi sosial) yang
menjadi tulang-punggung warga pedesaan menjadi terkubur, kepemilikan
sumber-sumber ekonomi dan akses fasilitas yang tersedia terkonsentrasi hanya
pada segelintir orang, kesenjangan semakin menganga, kemungkinan kompetisi yang
menjadi ciri khas ekonomi modern hanya terbuka bagi kelas tertentu, dan akhir
dari semua itu adalah meluasnya kemiskinan kronis dan kelumpuhan perkembangan
ekonomi yang berbasis pemerataan. Itu belum termasuk implikasi-implikasi lain
di sektor sosial politik dan kebudayaan seperti yang dilihat oleh Geertz
diatas.
Sudah
pasti bahwa semua itu adalah persoalan yang memerlukan perhatian kita. Tetapi,
ini soalnya, apakah terkuburnya kohesi sosial, monopoli kepemilikan, dan
kemiskinan kronis itu telah disadari oleh para korban kolonisasi sebagai
persoalan? Pertanyaan pun masih berlanjut: apakah mereka juga telah mempunyai
kesadaran akan kesanggupan dan keberanian untuk bertarung, berkonforntasi,
bahkan berkonflik dengan para pendukung diferensiasi sosial dengan seluruh
kandungannya? Dua kesadaran yang mutlak diperlukan bagi gerakan sosial
kontemporer seperti yang terlihat dalam gerakan Zapatista, dalam
gerakan-gerakan sosial di India dan beberapa di tempat lain. Rajendra Singh
(2010) menyatakan bahwa gerakan-gerakan sosial baru di India meluas dan menguat
sebagai akibat dari pembangunan kolonialistik-kapitalistik yang justru menyemai
kesadaran masyarakat atas hak-hak, atas tuntutan-tuntutan, dan atas bagian (share)
mereka dalam sumber daya nasional. Pembangunan itu juga, pada saat yang sama,
telah membangkitkan kesadaran akan kesanggupan mereka untuk secara kolektif
berkompetisi, bertarung, bahkan berkonflik dan berkonforntasi melawan negara
dan kekuatan-kekuatan lain yang menjadi musuh mereka.
Tanpa
kesadaran individu dan kolektif akan persoalan, dan tanpa kesadaran akan
kesanggupan/keberanian untuk melawan, mustahil gerakan sosial yang menjanjikan
masa depan lebih baik akan terwujud. Lalu, bagaimana menumbuhkan
kesadaran-kesadaran seperti itu, jika ternyata kesadaran-kesadaran itu belum
tumbuh? Marilah kita diskusikan.
Depok, Oktober 2010